Sabtu, 15 November 2008

PERBAIKAN KUALITAS GENETIK BENIH RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii MELALUI FUSI PROTOPLAS

ABSTRAK:
Perbaikan kualitas genetik benih rumput laut Kappaphycus alvarezii, dilakukan melalui persilangan dua varietas yang memiliki keunggulan. Fusi protoplas merupakan salah satu teknik penyilangan yang paling sederhana dalam rangka perbaikan kualitas genetik rumput laut jenis ini. Sumber benih yang digunakan antara lain berasal dari Takalar dan Tambalang yang masing-masing memiliki keunggulan dalam pertumbuhan dan kandungan karageenannya. Protoplas rumput laut diperoleh melalui cara kimia dengan melisis menggunakan campuran enzim, media kultur yang digunakan antara lain Conwy yang dimodifikasi dengan campuran vitamin, fusi protoplas dilakukan dengan cara kimia mengunakan PEG 6000 dalton. Hasil isolasi protoplas menggunakan campuran enzim dengan beberapa perbandingan memperlihatkan jumlah protoplas yang paling banyak adalah campuran enzim selulase dan macerozym dengan perbandingan 2 : I dengan jumlah rata-rata berkisar 1,25 x 108 sel/mL , sedangkan isolasi protoplas dari sumber yang berbeda memperlihatkan jumlah yang paling tinggi berasal dari Takalar dengan jumlah berkisar 3,70 x 107 sel /mL. Hasil fusi protoplas memperlihatkan persentase sel yang dapat fusi berkisar 40-50%, media kultur yang paling baik digunakan adalah media Conwy dengan modifikasi campuran vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumput laut yang tumbuh cepat, tahan penyakit, dan kandungan karageenan yang maksimum.
Kata kunci: Kualitas genetik, Kappaphycus alvarezii, fusi protoplas.

ABSTRACT: Genetic Quality improvement of Seaweed seed Kappaphycus alvarezii by protoplast fusion By : Emma Suryati, Sri Redjeki HM., A. Tenriulo and Rosmiati

Genetic quality improvement of seaweed seed Kappaphycus alvarezii, was done by crossing between two varieties which have advantage. Protoplast fusion is the one of simple crossing techniques in improvement of genetic quality for this kind of seaweed. The seed which were used come from Takalar and Tambalang, each has advantage in growth and carrageenan content. Protoplast of seaweed was chemically isolated through lysase by enzime mixture, the culture media was Conwy with vitamin mixture modification, and protoplasts fusion was chemically done by PEG 6000 Dalton. The result of protoplast isolation by enzime mixture in several ratio showed that the most protoplast was in 2 : 1 ratio between cellulase and macerozyme with average amount about 1.25 x 108 cell/mL, and the result of protoplast isolation of seaweed from different sources showed the highest protoplast was the seaweed from Takalar it’s amount about 3.70 x 107 cell/mL. Protoplast fusion showed the percentage of cell fusion was about 40-50%, and the best media culture was Conwy with vitamin mixture modification. This research aim to get the seaweed which grow quickly, hold up the disease, and yield of carageenan content maximum..
Keywords: Genetic quality, Kappaphycus alvarezii, protoplast fusion.


PENDAHULUAN

Budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di Sulawesi Selatan telah menjadi pusat perhatian dalam satu dekade terakhir ini mengingat perminataan akan bahan baku karaginan yang semakin tinggi dan didukung oleh ketersediaan pabrik pengolahan rumput laut yang memadai. Dengan melihat potensi budidaya rumput laut yang tinggi, Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai sentra produksi rumput laut di Indonesia.Salah satu kosekuensinya adalah penyediaan benih yang harus terjamin. Penyediaan benih rumput laut dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan baik secara vegetatif maupun generatif (Parenrengi et al., 2007). Namun kendala yang dihadapi antara lain merosotnya kualitas benih pada budidaya, hal ini antara lain disebabkan oleh penggunaan benih dari alam secara berulang yang dapat mengakibatkan penurunan baik kualitas maupun kuantitasnya, termasuk sangat rentan terhadap penyakit.
Teknik kultur jaringan menjanjikan perbanyakan benih secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi, namun untuk mendapatkan galur yang baik perlu ada persilangan antarspesies. Hal ini dapat dilakukan melalui kultur potoplas yang nantinya dapat disilangkan melalui fusi protoplas berdasarkan variasi genetik yang telah diketahui sebelumnya (Parenrengi et al., 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan beberapa tahun terakhir yaitu kultur jaringan rumput laut dan analisis genetik rumput laut, diperoleh beberapa informasi mengenai media yang baik pada perbanyakan secara in vitro (Amini, et al ., 1995, Suryati et al., 2002) serta karakter genetik dari beberapa varietas rumput laut K. alvarizii yang ada di Indonesia pada umumnya (Parenrengi et al., 2006). Dalam rangka perbaikan kualitas genetik dari K. alvarezii, tidak hanya dilakukan dengan kultur jaringan dari tallus saja, tetapi perlu adanya penyilangan antar spesies agar diperoleh bibit dengan kualitas yang lebih tinggi baik rendamen karaginannya maupun pertumbuhan dan ketahanannya terhadap penyakit. Penyilangan melalui fusi spora dari Gracillaria sp telah dilakukan oleh Cheney (1999), sedangkan pada rumput laut K. alvarezii tidak dijumpai spora yang dapat lepas sehingga penyilangan dan perbaikan kualitas genetik dilakukan melalui fusi protoplas. Salvador dan Serrano (2005), yang telah berhasil mengisolasi protoplas rumput laut menggunakan enzim dari ekstrak abalon segar dengan kepadatan berkisar antara 2,8 x 103 sampai 8,2 x 103 sel/mL. Kemudian Suryati et al.(2007), berhasil mengisolasi protoplas rumput laut K. alvarezii menggunakan enzim yang berasal dari viscera keong mas baik yang beku mapun segar dan campuran enzim dengan kepadatan mencapai 1,9-19 x 106 sel/mL, serta kultur protoplas menggunakan beberapa media telah dilaksanakan dan memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan.
Beberapa riset mengenai perbaikan kualitas genetik melalui fusi protoplas yang telah berhasil dilakukan antara lain pada tanaman tingkat tinggi seperti tanaman lada, nilam dan terung (Mariska dan Husni, 2006), dan tanaman tinggi lainnya seperti kentang sedangkan pada rumput laut K. alvarezii masih diperlukan banyak informasi. Oleh karena itu rintisan fusi protoplas rumput laut K. alvarezii diharapkan dapat diperoleh teknik dan perbaikan kualitas genetik pada rumput laut secara menyeluruh dan dapat meningkatkan produksi rumput laut pada umumnya.

BAHAN DAN METODE:
Isolasi dan kultur protoplas di laboratorium

Tallus rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan, dibersihkan dan dikeringkan menggunakan tissue. Kemudian dipotong kurang lebih 2-5 cm, dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi larutan antibiotik mix dengan konsentrasi 30 ppm dalam air laut steril dan direndam selama 24 jam. Masing-masing tallus diiris dengan ketebalan 1 mm menggunakan scapel steril dan dimasukkan ke dalam botol vial steril yang berisi larutan enzim yang telah disiapkan, lalu ditempatkan pada shaker dengan kondisi gelap dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C (Suryati et al., 2007).
Protoplas yang diperoleh kemudian disaring dan dicuci dengan washing solution (WS) yang mengandung larutan media conwy, mannitol 0,6 M dan CaCl2 27,5 mM dalam akuades steril dengan pH larutan 7,6 kemudian disentrifuge, supernatan dipisahkan dengan cara menyaring menggunakan ’Mary clot’ dengan porositas 100µm, homogenat yang diperoleh dicuci kembali dengan larutan pencuci dan disentrifuge kembali. Pencucian ini diulang hingga tiga kali dan terakhir homogenat dilarutkan dalam culture solution (CS) yang mengandung 60% WS, 40% media conwy, mannitol 0,4 M, CaCl2 12,5 mM dalam akuades steril dengan pH larutan 6 dan diberi zat perangsang tumbuh kinetin, IAA, dan auxin masing-masing 4 ppm (Salvador et al ., 2005).
Untuk mengetahui protoplas yang hidup dan yang mati, dilakukan tes viability dengan penambahan zat warna evan blue dengan konsentrasi 0,05% yang dilarutkan dalam air laut steril. Protoplas viabel dan debris dapat dibedakan dengan warna, dimana protoplas viabel dapat menyerap warna dari evan blue, sedangkan protoplas yang debris tidak dapat menyerap warna dari evan blue. Protoplas yang viable dihitung menggunakan Sedgewick Rafter Cell (SRC).

Fusi Protoplas

Protoplas yang berasal dari dua varietas yang berbeda masing-masing diambil 1 mL dengan kepadatan 104-106 sel/mL dimasukkan ke dalam tabung centrifug, kemudian diencerkan dengan larutan hingga kepadatan yang sama .
Sebanyak 3-4 tetes (0,25 mL) campuran protoplas dipipet dan ditempatkan ke dalam petridish, Setelah 2-5 menit kemudian teteskan larutan PEG 6000 (20, 40, dan 60%) melalui dinding cawan dengan hati-hati. Setelah terjadi penggumpalan, larutan PEG diencerkan dengan larutan fusion yang terdiri atas air laut yang mengandung 5-40 mM calcium, pH 8-9 dan merupakan larutan hipotonik pada PEG.
Kelebihan larutan pada campuran protoplas dan PEG dikeluarkan menggunakan mikro pipet, diganti dengan larutan fusi yang baru. Setelah 10-20 menit, diamati di bawah mikroskop untuk melihat persentase yang dihasilkan pada fusi, apabila tidak terjadi maka ditambahkan larutan PEG seperti di atas hingga terjadi fusi kemudian larutan fusi diganti dengan media kultur dengan cepat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil isolasi protoplas menggunakan campuran enzim komersial dengan beberapa perbandingan antara enzim selulase dan macerozym atau pektinase memperlihatkan jumlah protoplas yang terisolasi bervariasi. Hasil isolasi memperlihatkan jumlah protoplas yang paling banyak yaitu pada perbandingan campuran enzim selulase dan pektinase dengan perbandingan 2:1 dengan jumlah protoplas mencapai 125,49 x 106 sel/mL, sedangkan yang paling rendah adalah campuran enzim selulase dan macerozym dengan perbandingan 1:0 diperoleh protoplas 9,55 x 106 sel/mL (Gambar 1).












Gambar 1. Jumlah protoplas yang terisolasi menggunakan campuran enzim dengan perbandingan 1:0 (A); 0:1 (B),1:1 (C); 1:2 (D); dan 2:1 (E)


Protoplas rumput laut K. alvarezii diisolasi menggunakan enzim selulase dan pektinase yaitu macerozym yang berperan di dalam melisis jaringan dinding sel rumput laut paling luar yang terdiri atas molekul-molekul karbohidrat dalam bentuk selulose yang merupakan dinding pelindung protoplas. Enzim selulase dapat mendegradasi selulosa pada dinding sel sehingga protoplas dapat keluar, sedangkan enzim macerozym atau pektinase diperlukan pada degradasi pektin yang umumnya berada pada lapisan sekunder yang menghubungkan lapisan dinding sel pada jaringan rumput laut dewasa yang berfungsi sebagai perekat antara kedua lapisan (Juwono dan Juniarto, 2000)
Media kultur sangat berpengaruh terhadap perkembangan protoplas baik tunggal maupun hasil fusi protoplas, media kultur yang digunakan untuk isolasi protoplas antara lain media yang sering digunakan pada kultur mikro algae dengan diperkaya dengan nutrien yang kemungkinan dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut K. alvarezii seperti Conwy, PES 1/20, dan SSW. Media kultur yang paling banyak menghasilkan protoplas adalah media Conwy, sedangkan SSW, dan PES kurang baik walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, namun keutuhan dari sel protoplas dan kelangsungan hidupnya sangat dipengaruhi oleh media yang memberikan asupan nutrien untuk kehidupannya. Hasil isolasi protoplas tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2).








Gambar 2. Jumlah protoplas yang terisolasi menggunakan beberapa media kultur

.
Hasil isolasi protoplas yang berasal dari beberapa sumber lokasi budidaya antara lain berasal dari Takalar, Tambalang (Pilipina), Bali, dan Maumere yang dikembangkan di daerah Takalar dengan umur pemeliharaan yang sama memperlihatkan jumlah protoplas yang berbeda (Gambar 3)












Gambar. 3. Jumlah protoplas yang terisolasi dari sumber rumput laut yang berbeda.

Jumlah protoplas yang terisolasi dari beberapa daerah sentra budidaya memperlihatkan protoplas yang paling banyak terisolasi yaitu dari daerah asli Takalar, sedangkan jumlah protoplas yang paling sedikit yaitu dari daerah Tambalang Pilipina yang dikembangkan di daerah Takalar. Hal ini dapat terjadi disebabkan rumput laut, bersama-sama dengan hewan dan biota heteromorf lain menempati zona intertidal dan subtidal di peraiarn pantai, memiliki anatomi multiseluler yang kompleks, serta memiliki jaringan berdiferensiasi dan mirip dengan tumbuhan pada umumnya. Selain itu rumput laut K. alvarezii memiliki adaptasi biokimia terhadap kondisi lingkungan misalnya dinding selnya tediri atas selulose dan polisakarida yang dapat membentuk jel yang menyebabkan rumput laut terasa seperti berlendir dan seperti karet, bahan-bahan ini akan membantu memberikan bantalan tallus yang dapat melawan agitasi gelombang.
Nutrien yang ada pada suatu lokasi berbeda dengan yang lain sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan biota yang hidup di sekitarnya. Demikian juga dengan kemampuan beradaptasi dari rumput laut yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain akan memberikan perkembangan yang berbeda pula baik sel maupun tallus rumput laut pada umumnya sehingga jumlah protoplas yang diisolasi memperlihatkan perbedaan (Campbell et al., 2000).
Proses fusi protoplas rumput laut yang diisolasi dari K. alvarezii (Gambar 4) yang berasal dari sumber yang berbeda yaitu dari Takalar dan Tambalang, fusi dari kedua protoplas tersebut terjadi dengan adanya induksi oleh polietilen glikol (PEG) 6000 dalton. Protoplas sel totipoten tanpa dinding sel dapat dihasilkan dengan mudah dan dirancang untuk menumbuhkannya menjadi jaringan kalus dan dilanjutkan menjadi tanaman kecil yang dapat dikembangbiakkan secara konvensional. Protoplas dapat dipisahkan dari jaringan organ dan jaringan kalus. Jaringan tallus rumput laut dapat digunakan karena hasil protoplas dari sumber ini cukup tinggi dan seragam. Protoplas sering menghasilkan jaringan kalus yang kemudian dari kalus ini diregenerasikan suatu tumbuhan yang lengkap (Khairul, 2001).

Gambar 4. Perkembangan protoplas rumput laut setelah terjadi fusi


Untuk menentukan keberhasilan fusi protoplas adalah mendapatkan protoplas dengan densitas yang tinggi. Penghancuran dinding sel dengan menggunakan enzim selulase dikombinasikan dengan macerozim dapat menghasilkan protoplas dengan struktur yang sempurna dan densitas yang tinggi (Mariska dan Husni, 2006).
Fusi protoplas pada rumput laut K. alvarezii, diawali dengan penggabungan protoplas dua varitas rumput laut K.alvarezii yang masing-masing memiliki keunggulan dalam pertumbuhan dan kandungan karaginan yang maksimum. Keberhasil fusi pada protoplas rumput laut rata-rata berkisar pada 40-50%, selebihnya dapat terjadi kontaminasi yang mengakibatkan kematian pada protoplas yang dipelihara.
Manfaat penting dari protoplasma dalam pemuliaaan tanaman termasuk rumput laut terletak pada beberapa sifatnya, yaitu : (1) protoplas dapat dihasilkan dan disaring untuk membentuk banyak variasi. Meskipun protoplas yang terbentuk secara genetik bersifat homogen, tetapi kalus yang merupakan keturunannya dapat menjadi tanaman yang menunjukan perbedaan sifat-sifat yang cukup besar, (2) tidak adanya dinding sel memudahkan fusi antara protoplas dengan demikian mengawali terjadinya pembastaran. Fakta bahwa fusi dapat terjadi antara sel somatik yang bersifat diploid yang memungkinkan pemuliatanaman merancang suatu teknik dengan baik, (3) tidak adanya dinding sel juga memudahkan penyerapan DNA, sebagai fragmen atau plasmid yang berasal dari bakteri, untuk menghasilkan tanaman dengan sifat-sifat yang baru sama sekali (Khairul, 2001).

KESIMPULAN DAN SARAN
1. Komposisi enzim selulase dan pektinase yang paling baik untuk mengisolasi protoplas rumput laut K. alvarezii adalah dengan perbandingan 2:2.
2. Media kultur yang paling baik digunakan pada isolasi protoplas rumput laut K. alvarezii yaitu media conwy yang dimodifikasi dengan campuran vitamin.
3. Sumber benih yang paling banyak menghasilkan protoplas adalah dari daerah asli Takalar.
4. Keberhasil fusi pada rumput laut K. alvarezii baru mencapai 40-50%, dan diperlukan teknik yang lebih baik agar kontaminasi dapat direduksi.

PUSTAKA

Amini, S., M. Amin, dan A. Parenrengi. 1995. Penelitian kultur jaringan rumput laut, Eucheuma sp secara vegetatif. Laporan hasil penelitian ARMP Balitkandita, Maros. 16 hal
Campbell, Neil A, J.B. Reece, and Lawrence. G. Mitchell. 2000. Biology. Fifth ed Addison Wisly Longman. Inc. 404 hal

Cheney, D.P. 1999. Strain improvement of seaweeds thru genetic manipulation: current status. World Aquaculture 30: 55-56 &65.

Hendaryono, D.P.S dan A. Wijayani 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius. Jakarta 138 hal.

Juwono dan A. Z. Juniarto. 2000. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 97 hal.

Khairul. 2001. Peranan Bioteknologi dalam Pembangunan Pertanian. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor

Mariska , I dan Husni, A. 2006. Perbaikan Sifat Genotif melalui Fusi Protoplas pada Tanaman lada, nilam, dan terung. Jurnal Litbang Pertanian 25(2). 2006. p 56-59

Parenrengi, A., Sulaeman, E. Suryati, dan A. Tenriulo, 2006. Karakterisasi genetik rumput laut Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur Vol.1 (1): 1-11.

Parenrengi, A., E. Suryati, dan Rachmansyah, 2007. Penyedian benih dalam menunjang kebun bibit dan budidaya rumput laut, Kappaphycus alvarezii. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan, 7 Agustus 2007 di Jakarta, 12 pp.

Salvador, R.C and A.E. Serrano. 2005. Isolation of Protoplast from Tissue Fragments of Philippine cultivars of Kappaphycus alvarezii (Solierienceae, Rhodophyta). J. Of Applied Phycology 17: 15-22
Suryati, E, A. Tenriulo, dan Sri Rejeki H.S. 2007. Isolasi dan Kultur Protoplas rumput laut Kappaphycus alvarezii di